Rabu, 04 Januari 2012

Menguak Kisah Mbah Modin Asy'ari (Sunan Bejagung Lor)

kotatuban.com – Konon pada era imperalisme Eropa di Tanah Jawa, tak ada satupun orang-orang dari belahan dunia barat itu yang bisa memasuki kawasan Makam Modin Asngari di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding.  “ Orang-orang Belanda tidak bisa melihat apa-apa ketika masuk wilayah Bejagung,” cerita Kuntoha (63), Juru Kunci Makam Modin Asngari saat kotatuban.com,  mengunjunginya, Selasa (1/11).
Wilayah Bejagung pun tidak pernah terjamah penjajahan Belanda. Bahkan hingga masa clash II tahun 1948, keramat Tanah Bejagung masih bertahan. Tentara NICA yang mendarat di pantai Glondonggede dan berhasil menguasai kota Tuban, tetap tak mampu menjamah Bejagung. Bejagung pun tetap menjadi wilayah aman bagi para pengungsi dan pejuang. “ Jepang juga tidak bisa masuk. Malahan orang-orang Cina dulu juga tidak bisa masuk Bejagung,” kata Kuntoha.
Namun itu dulu. Sekarang, makam tokoh penyebar agama Islam yang memiliki nama Arab Syaikh Abdullah Imamuhdin Asy’ari itu tak lagi “haram” bagi orang asing. Kuntoha mengatakan, sudah beberapa kali dalam sepuluh tahun terakhir makam Modin Asngari yang lumrah disebut Sunan Bejagung Lor itu dikunjungi orang asing, warga Negara Amerika Serikat, Australia bahkan Belanda.  Warga keturunan Tiong Hoa yang dulu juga hampir tidak ada yang mampu memasuki situs makam itu, kini juga mulai banyak yang berziarah.
Kuntoha memandang keadaan itu bukan berarti karomah Sunan Bejagung Lor atau Syaikh Asy’ari sudah surut. Menurut Kuntoha, karomah itu berlaku saat Negara dalam kondisi dan situasi dibawah ancaman bangsa asing atau pihak-pihak yang berniat tidak baik terhadap masyarakat Tuban. Kuntoha bercerita, sebenarnya karomah Syaikh Asy’ari tersebut sudah berlaku sejak masa-masa akhir Pemerintahan Brawijawa VII di Majapahit, sebelum para penyebar Islam yang tergabung dalam Wali Songo yang tersohor itu muncul.
Gapura masjid Sunan Bejagung Lor, di desa Bejagung, Semanding
Saat itu Islam baru memulai perkembangannya di Jawa. Syaikh Abdullah Imamuhdin Asy’ari bersama kakaknya, Syaikh Ibrahim Ash-Shamarqandy, memutuskan menetap di wilayah Tuban dan menjadikan kadipaten terkemuka Majapahit ini sebagai pusat pengembangan dakwah Islam ke seluruh Jawa dan Nusantara. Syaikh Ibrahim Ash-Shamarqandy atau sering disebut Brahim Asmoro, memilih Desa Kradenan yang berada di pesisir timur kotaraja Tuban sebagai tempat bermukimnya, sementara Syaikh Abdullah Imammuhdin Asy’ari memilih tempat di dekat kotaraja Kadipaten Tuban, Mojoagung.
Nama Mojoagung sendiri, kata Kuntoha, berawal dari peristiwa datangnya Patih Barat Ketigo, utusan Majapahit untuk menguji ilmu Syaikh Imammuhdin Asy’ari. Harapannya, jika Syaikh Imamuhdin Asy’ari bisa dikalahkan, usaha dakwahnya yang dipandang mengancam pemerintahan Hindhu Majapahit bisa dihambat, atau bahkan dihentikan sama sekali. Patih Barat Ketigo merasa haus kala itu. Ia mendekati sebatang pohon kelapa dan dengan sekali goyang semua buah kelapa berjatuhan di tanah. Tapi ia harus merasa malu karena Syaikh Imamuhdin Asy’ari dengan kesaktiannya mampu merundukkan pohon kelapa dan memetik sebuah saja tanpa menjatuhkan buah lainnya.
Tak hanya itu, Syaikh Imamuhdin Asy’ari menasehati Barat Ketigo agar jangan tamak. Perut manusia hanya cukup diisi air sebanyak buah maja, tidak harus menjatuhkan seluruh buah kelapa. Syaikh Asy’ari kemudian mengambil sebutir buah maja seukuran bola tenis, lalu mengisinya dengan air. Anehnya, kendati telah diminum berkali-kali hingga perut Barat Ketigo kekenyangan, air dalam buah maja itu tak juga tandas.
Akhirnya, Barat Ketigo menyatakan kalah dan mengakui ketinggian ilmu Syaikh Asy’ari, lalu pulang ke Majapahit. Ia lalu menetapkan tempat tersebut dengan nama Mojoagung. “ Lambat laun menjadi Mojogung, Mejagung, terus berubah menjadi Mbejagung sampai sekarang ini,” kata Kuntoha.
Tetapi kepulangan Barat Ketigo dengan tangan hampa itu justru membuat Raja Majapahit marah besar. Mojogung atau Mbejagung tempat “pesantren” Syaikh Imamuhdin Asy’ari pun digempur dengan ratusan prajurit dengan mengedarai gajah. Mengetahui hal itu, Syaikh Imamuhdin Asy’ari mengambil sebatang ranting pohon dan membuat garis melingkari wilayah pesantrennya.
Atas karomah yang dimilikinya, pasukan bergajah Majapahit menjadi tidak melihat apa-apa saat mendekati Bejagung. Bahkan mereka bersama gajahnya mendadak menjadi batu karena ucapan Syaikh Asy’ari  saat menenangkan santri-santrinya yang ketakutan. “ Itu bukan gajah, le, tapi batu,” kata Mbah Asy'ari. Maka pasukan gajah itupun menjadi batu. Di selatan Bejagung itu ada tempat namanya watu gajah. Batu-batunya memang sangat mirip barisan gajah,” tutur Kuntoha.
Sejak itulah kawasan Bejagung tertutup bagi orang yang hendak berbuat tidak baik dan mengancam keselamatan masyarakat sekitarnya. “ Sekarang keadaan sudah damai, sudah tenang. Asal tidak berbuat macam-macam yang bisa menimbulkan kerugian banyak orang, silahkan datang ke mari,” pesan Kuntoha.
Peziarah
Dibanding Makam Sunan Bonang, Makam Sunan Bejagung Lor atau Mbah Modin Asy'ari ini memang kurang dikenal. Peziarahnya pun tidak seramai Makam Sunan Bonang. Kuntoha bilang, rata-rata pengunjung kurang dari 50 orang pada hari-hari biasa. Pada malam Jum’at Wage dan Jum’at Kliwon, pengunjung baru bisa dipastikan ramai. “ Kalau malam Jum’at Wage dan Jum’at Kliwon bisa sampai 300-an orang yang ziarah,” kata Kuntoha.
Karena itulah Kuntoha hanya dibebani menyetor pendapatan saat dua Jum’at itu pada Pemerintahan Desa (Pemdes) setempat. Dari total pendapat setiap malam Jum’at Wage dan Kliwon itu, Pemdes meminta 25 %, sedang sisanya menjadi hak empat Juru Kunci yang bertugas di situs makam tersebut, termasuk Kuntoha.
Sayangnya, Kuntoha enggan menyebutkan berapa pendapatan yang berhasil dikumpulkan setiap malam dua Jum’at tersebut. “ Lha wong hasilnya ndak bisa dipastikan. Orang yang ziarah kan seikhlasnya mengisi kotak-kotak amal itu. Ndak ada ketetapan harus ngisi sekian atau sekian. Jadi ya ndak bisa ngomong saya,” kata Kuntoha.
Kuntoha. juru kunci makam
Kuntoha sendiri mengaku sangat berharap situs makam yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Badan Perlindungan Peninggalan Purbakala (BP3) Mojokerto tersebut mendapat perhatian serius dari Pemerintah setempat. Selama ini, menurut Kuntoha, perhatian Pemerintah hanya tertuju pada Makam Sunan Bonang.
Salah satu buktinya, tidak ada upaya mengarahkan peziarah yang mengunjungi makam Sunan Bonang sekalian berziarah ke Sunan Bejagung. Selama ini yang menjadi paket wisata religious disamping Sunan Bonang adalah Makam Syaikh Ibrahim Ash-Shomarqandy di Desa Kradenan, Kecamatan Palang, kakak Syaikh Imamuhdin Asy’ari.
Sementara makam Syaikh Imammuhdin Asy’ari sampai hari ini masih mengandalkan peziarah local, yang kebanyakan memiliki hajat tertentu semisal agar bisa laris dagangannya atau bisa lepas dari masalah-masalah keduniaan. Bahkan tidak jarang tempat ini menjadi arena sumpah pocong.
“ Makam Mbah Modin Asy'ari memang sangat mujarab untuk sumpah. Sudah sejak dulu tempat ini terkenal sebagai tempat bersumpah bagi orang-orang yang berperkara dan tidak terselesaikan,” jelas Kuntoha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar