Rabu, 04 Januari 2012

Maulana Syekh Muhammad Hisham Kabbani al-Haqqani ar-Rabbani q.s.


Syekh Muhammad Hisham Kabbani q.s. adalah seorang ulama dan syekh sufi yang berasal dari Lebanon. Beliau lulusan American University di Beirut dalam bidang kimia. Dari sana beliau melanjutkan studi kedokteran di University of Louvain, Belgia. Beliau juga meraih gelar di bidang Hukum Islam dari Universitas al-Azhar, Damaskus. Sejak usia 15 tahun, beliau telah menemani Syekh `Abdullah ad-Daghestani q.s. dan Syekh Muhammad Nazim al-Haqqani q.s., syekh agung Tarekat Naqsybandi yang mulia di masa ini. Beliau banyak melakukan perjalanan ke segala penjuru di Timur Tengah, Eropa, dan Timur Jauh untuk menemani syekhnya.
Pada tahun 1991 beliau diperintahkan syekhnya untuk pindah ke Amerika dan mendirikan yayasan bagi Tarekat Naqsybandi di sana. Sejak saat itu, beliau telah membuka 13 pusat sufi di Kanada dan Amerika Serikat. Beliau telah mengajar di sejumlah universitas, seperti: the University of Chicago, Columbia University, Howard, Berkeley, McGill, Concordia, dan Dawson College, demikian pula dengan sejumlah pusat keagamaan dan spiritual di seluruh Amerika Utara, Eropa, Timur Jauh dan Timur Tengah.
Misi dari Syekh Hisham Kabbani q.s. di benua Amerika adalah untuk menyebarkan ajaran sufi dalam konteks persaudaraan umat manusia dan kesatuan dalam kepercayaan kepada Tuhan yang terdapat dalam semua agama dan jalur spiritual. Usahanya diarahkan untuk membawa spektrum keagamaan dan jalur-jalur spiritual yang beragam ke dalam keharmonisan dan kerukunan, dalam rangka pengenalan akan kewajiban ummat manusia sebagai kalifah Tuhan di bumi ini.
Sebagai seorang syekh sufi, Syekh Hisham q.s. telah diberi wewenang untuk membimbing para pengikutnya menuju Cinta Ilahi dan menuju tingkatan spiritual yang telah digariskan Sang Pencipta. Latihan spiritual yang berat yang telah ditempuhnya selama 40 tahun di bawah pengawasan syekh besar dan syekhnya, telah menganugerahinya kecakapan yang tinggi mencakup kebijaksanaan, cahaya ilahiah, intelektual yang diperlukan seorang guru sufi sejati.
Misi Syekh Hisham q.s. yang jauh melampaui target di Amerika adalah kontribusinya yang unik terhadap usaha umat manusia dalam mencapai takdir tertingginya, yaitu kedekatan dengan Tuhannya. Usaha beliau untuk membawa kesatuan hati dalam gerakannya menuju Inti Ilahi merupakan warisan terbesarnya kepada dunia Barat.
Syekh Hisham q.s. adalah keturunan Rasulullah saw. baik dari jalur Ayah dan Ibunya (al-Hasani al-Husayni). Dari istrinya, Hj. Nazihe Adil yang merupakan putri Syekh Nazim al-Haqqani q.s., beliau dikaruniai 3 putra dan 1 putri, serta beberapa cucu yang semuanya menetap di Fenton, Michigan.
Beberapa posisi yang beliau duduki di Amerika saat ini antara lain: Ketua Islamic Supreme Council of America (ISCA), penasihat dalam Unity One, yaitu sebuah organisasi yang ditujukan untuk perdamaian antar-gang di Amerika, penasihat dalam Human Rights Council, penasihat dalam American Islamic Association of Mental Health Providers dan penasihat dalam Office of Religious Persecution, US Department of State.
Beberapa tulisannya yang telah dipublikasikan secara internasional antara lain: Classical Islam and the Naqshbandi Sufi Tradition, Naqshbandi Sufi Way: the Story of Golden Chain, Angels Unveiled-Sufi Perspective (edisi Indonesia: Dialog dengan para Malaikat, diterbitkan Hikmah), Pearls and Coral, Encyclopedia of Islamic Doctrine (7 volume), The Permissibility of Mawlid, “Salafi” Movement Unveiled, dan The Approach of Armageddon? (edisi Indonesia: Kiamat Mendekat, diterbitkan Serambi).
Sejak tahun 1997, beliau telah beberapa kali berkunjung ke Indonesia dan sekarang telah memiliki ribuan murid yang tersebar di pelosok Jakarta, Sukabumi, Bandung, Pekalongan, Semarang, Tuban, Surabaya, Batam, Aceh, Padang, Bukittinggi, Bali dan lain-lain, yang semuanya terwadah dalam suatu keluarga besar Jemaah Tarekat Naqsybandi al-Haqqaniyah yang dalam keorganisasiannya dikelola Yayasan Haqqani Indonesia.
Sumber : Yayasan Haqqani Indonesia

Menguak Kisah Mbah Modin Asy'ari (Sunan Bejagung Lor)

kotatuban.com – Konon pada era imperalisme Eropa di Tanah Jawa, tak ada satupun orang-orang dari belahan dunia barat itu yang bisa memasuki kawasan Makam Modin Asngari di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding.  “ Orang-orang Belanda tidak bisa melihat apa-apa ketika masuk wilayah Bejagung,” cerita Kuntoha (63), Juru Kunci Makam Modin Asngari saat kotatuban.com,  mengunjunginya, Selasa (1/11).
Wilayah Bejagung pun tidak pernah terjamah penjajahan Belanda. Bahkan hingga masa clash II tahun 1948, keramat Tanah Bejagung masih bertahan. Tentara NICA yang mendarat di pantai Glondonggede dan berhasil menguasai kota Tuban, tetap tak mampu menjamah Bejagung. Bejagung pun tetap menjadi wilayah aman bagi para pengungsi dan pejuang. “ Jepang juga tidak bisa masuk. Malahan orang-orang Cina dulu juga tidak bisa masuk Bejagung,” kata Kuntoha.
Namun itu dulu. Sekarang, makam tokoh penyebar agama Islam yang memiliki nama Arab Syaikh Abdullah Imamuhdin Asy’ari itu tak lagi “haram” bagi orang asing. Kuntoha mengatakan, sudah beberapa kali dalam sepuluh tahun terakhir makam Modin Asngari yang lumrah disebut Sunan Bejagung Lor itu dikunjungi orang asing, warga Negara Amerika Serikat, Australia bahkan Belanda.  Warga keturunan Tiong Hoa yang dulu juga hampir tidak ada yang mampu memasuki situs makam itu, kini juga mulai banyak yang berziarah.
Kuntoha memandang keadaan itu bukan berarti karomah Sunan Bejagung Lor atau Syaikh Asy’ari sudah surut. Menurut Kuntoha, karomah itu berlaku saat Negara dalam kondisi dan situasi dibawah ancaman bangsa asing atau pihak-pihak yang berniat tidak baik terhadap masyarakat Tuban. Kuntoha bercerita, sebenarnya karomah Syaikh Asy’ari tersebut sudah berlaku sejak masa-masa akhir Pemerintahan Brawijawa VII di Majapahit, sebelum para penyebar Islam yang tergabung dalam Wali Songo yang tersohor itu muncul.
Gapura masjid Sunan Bejagung Lor, di desa Bejagung, Semanding
Saat itu Islam baru memulai perkembangannya di Jawa. Syaikh Abdullah Imamuhdin Asy’ari bersama kakaknya, Syaikh Ibrahim Ash-Shamarqandy, memutuskan menetap di wilayah Tuban dan menjadikan kadipaten terkemuka Majapahit ini sebagai pusat pengembangan dakwah Islam ke seluruh Jawa dan Nusantara. Syaikh Ibrahim Ash-Shamarqandy atau sering disebut Brahim Asmoro, memilih Desa Kradenan yang berada di pesisir timur kotaraja Tuban sebagai tempat bermukimnya, sementara Syaikh Abdullah Imammuhdin Asy’ari memilih tempat di dekat kotaraja Kadipaten Tuban, Mojoagung.
Nama Mojoagung sendiri, kata Kuntoha, berawal dari peristiwa datangnya Patih Barat Ketigo, utusan Majapahit untuk menguji ilmu Syaikh Imammuhdin Asy’ari. Harapannya, jika Syaikh Imamuhdin Asy’ari bisa dikalahkan, usaha dakwahnya yang dipandang mengancam pemerintahan Hindhu Majapahit bisa dihambat, atau bahkan dihentikan sama sekali. Patih Barat Ketigo merasa haus kala itu. Ia mendekati sebatang pohon kelapa dan dengan sekali goyang semua buah kelapa berjatuhan di tanah. Tapi ia harus merasa malu karena Syaikh Imamuhdin Asy’ari dengan kesaktiannya mampu merundukkan pohon kelapa dan memetik sebuah saja tanpa menjatuhkan buah lainnya.
Tak hanya itu, Syaikh Imamuhdin Asy’ari menasehati Barat Ketigo agar jangan tamak. Perut manusia hanya cukup diisi air sebanyak buah maja, tidak harus menjatuhkan seluruh buah kelapa. Syaikh Asy’ari kemudian mengambil sebutir buah maja seukuran bola tenis, lalu mengisinya dengan air. Anehnya, kendati telah diminum berkali-kali hingga perut Barat Ketigo kekenyangan, air dalam buah maja itu tak juga tandas.
Akhirnya, Barat Ketigo menyatakan kalah dan mengakui ketinggian ilmu Syaikh Asy’ari, lalu pulang ke Majapahit. Ia lalu menetapkan tempat tersebut dengan nama Mojoagung. “ Lambat laun menjadi Mojogung, Mejagung, terus berubah menjadi Mbejagung sampai sekarang ini,” kata Kuntoha.
Tetapi kepulangan Barat Ketigo dengan tangan hampa itu justru membuat Raja Majapahit marah besar. Mojogung atau Mbejagung tempat “pesantren” Syaikh Imamuhdin Asy’ari pun digempur dengan ratusan prajurit dengan mengedarai gajah. Mengetahui hal itu, Syaikh Imamuhdin Asy’ari mengambil sebatang ranting pohon dan membuat garis melingkari wilayah pesantrennya.
Atas karomah yang dimilikinya, pasukan bergajah Majapahit menjadi tidak melihat apa-apa saat mendekati Bejagung. Bahkan mereka bersama gajahnya mendadak menjadi batu karena ucapan Syaikh Asy’ari  saat menenangkan santri-santrinya yang ketakutan. “ Itu bukan gajah, le, tapi batu,” kata Mbah Asy'ari. Maka pasukan gajah itupun menjadi batu. Di selatan Bejagung itu ada tempat namanya watu gajah. Batu-batunya memang sangat mirip barisan gajah,” tutur Kuntoha.
Sejak itulah kawasan Bejagung tertutup bagi orang yang hendak berbuat tidak baik dan mengancam keselamatan masyarakat sekitarnya. “ Sekarang keadaan sudah damai, sudah tenang. Asal tidak berbuat macam-macam yang bisa menimbulkan kerugian banyak orang, silahkan datang ke mari,” pesan Kuntoha.
Peziarah
Dibanding Makam Sunan Bonang, Makam Sunan Bejagung Lor atau Mbah Modin Asy'ari ini memang kurang dikenal. Peziarahnya pun tidak seramai Makam Sunan Bonang. Kuntoha bilang, rata-rata pengunjung kurang dari 50 orang pada hari-hari biasa. Pada malam Jum’at Wage dan Jum’at Kliwon, pengunjung baru bisa dipastikan ramai. “ Kalau malam Jum’at Wage dan Jum’at Kliwon bisa sampai 300-an orang yang ziarah,” kata Kuntoha.
Karena itulah Kuntoha hanya dibebani menyetor pendapatan saat dua Jum’at itu pada Pemerintahan Desa (Pemdes) setempat. Dari total pendapat setiap malam Jum’at Wage dan Kliwon itu, Pemdes meminta 25 %, sedang sisanya menjadi hak empat Juru Kunci yang bertugas di situs makam tersebut, termasuk Kuntoha.
Sayangnya, Kuntoha enggan menyebutkan berapa pendapatan yang berhasil dikumpulkan setiap malam dua Jum’at tersebut. “ Lha wong hasilnya ndak bisa dipastikan. Orang yang ziarah kan seikhlasnya mengisi kotak-kotak amal itu. Ndak ada ketetapan harus ngisi sekian atau sekian. Jadi ya ndak bisa ngomong saya,” kata Kuntoha.
Kuntoha. juru kunci makam
Kuntoha sendiri mengaku sangat berharap situs makam yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Badan Perlindungan Peninggalan Purbakala (BP3) Mojokerto tersebut mendapat perhatian serius dari Pemerintah setempat. Selama ini, menurut Kuntoha, perhatian Pemerintah hanya tertuju pada Makam Sunan Bonang.
Salah satu buktinya, tidak ada upaya mengarahkan peziarah yang mengunjungi makam Sunan Bonang sekalian berziarah ke Sunan Bejagung. Selama ini yang menjadi paket wisata religious disamping Sunan Bonang adalah Makam Syaikh Ibrahim Ash-Shomarqandy di Desa Kradenan, Kecamatan Palang, kakak Syaikh Imamuhdin Asy’ari.
Sementara makam Syaikh Imammuhdin Asy’ari sampai hari ini masih mengandalkan peziarah local, yang kebanyakan memiliki hajat tertentu semisal agar bisa laris dagangannya atau bisa lepas dari masalah-masalah keduniaan. Bahkan tidak jarang tempat ini menjadi arena sumpah pocong.
“ Makam Mbah Modin Asy'ari memang sangat mujarab untuk sumpah. Sudah sejak dulu tempat ini terkenal sebagai tempat bersumpah bagi orang-orang yang berperkara dan tidak terselesaikan,” jelas Kuntoha.

Sekilas : Dzikrul Ghofilin

Dzikrul Ghofilin Gus Miek Masuk Kampus

Tegal – Ada pemandangan yang tidak biasa di kampus Universitas Pancasakti (UPS) Tegal, Ahad (27/3) lalu. Suasana kampus yang biasanya terlihat lalu lalang mahasiswa, kini terlihat berbeda. Sekitar 7.000 orang tumpah ruah di halaman kampus Jalan Halmahera memanjatkan doa yang dipimpin oleh KH Nurul Huda Jazuli, pengasuh Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri.
Ribuah jamaah itu mengikuti rangkaian pembacaan doa Dzikrul Ghofilin yang dirintis oleh Gus Miek (alm.) dari Ploso Kediri dan telah berkembang ke berbagai daerah di Indonesia. Menurut rektor UPS, Prof Dr H Tri Jaka Kartana MSi, kegiatan dzikir bersama antara civitas akademika UPS dengan masyarakat dilakukan dalam upaya pembinaan moral sekaligus siraman rohani bagi civitas akademika dan masyarakat.

“Kehadiran para tokoh ulama diharapkan mampu memberikan taushiyah yang nantinya menjadi pijakan sehingga sethap langkah yang dilakukan berada di jalan sesuai ajaran Islam,” Tri Jaka di sela-sela kegiatan dzikir, belum lama ini di komplek kampus UPS Tegal.
Menurut Tri Jaka, manusia akan mencapai kebahagiaan yang hakiki kalau bisa menggabungkan antara kekuatan intelektual, religius dan akhlakul karimah, karena intelektual saja tidak cukup tanpa dibarengi jiwa agama dan akhlak yang mulia. Kalau ketiganya bisa dikawinkan akan membentuk insan kamil.
Jamaah yang hadir terlihat khusyu mengikuti pembacaan doa yang dipimpin oleh KH Nurul Huda Jazuli (Gus Da). Kumpulan dzikir Gus Miek itu ternyata membuat para jamaah antusias mengikuti terutama ketika lafadz “Lailahaillallah” dikumandangkan bahkan tak sedikit dari mereka meneteskan air mata tatkala doa-doa dipanjatkan.
Hadir dalam acara dzikir Dzikrul Ghofilin rektor UPS, Prof Dr H Tri Jaka Kartna, walikota Tegal H Ikmal Jaya SE, wakapolres kota Tegal kompol Sugeng T SH MH, ketua tanfidziyah NU kota Tegal Dr H Basukiyatno MPd, wakil rektor III Dwijoyo Hartoyo SH MH, Pembina UKMI M Khamim SH MH, Ki Entus Susmono serta ribuan masyarakat yang datang tidak saja dari kota Tegal tapi dari Kab Tegal, Brebes dan Pemalang.
Dalam tausiahnya Gus Da mengajak, supaya masyarakat kampus selalu ingat dan menjalankan sesuatu tidak semata-mata mengedepankan nilai ilmiah tapi juga religius. Keutamaan Al Qur’an hendaknya menjadi pijakan sehingga terbentuk karakter mahasiswa serta civitas akademika lainya yang adil, jujur dan bertanggung jawab.
“Saya merasa bersyukur dan terima kasih atas respon yang begitu besar dari civitas akademika dan masyarakat sekitar dalam acara Dzikrul Ghofilin. Semoga acara ini bisa menjadi media dalam proses pembentukan insan yang selalu mengedepankan nilai-nilai agamis. Tantangan yang begitu berat di dunia pendidikan, utamanya mahasiswa dalam mengadapi derasnya arus informasi yang kadang berdampak negative seperti pergauln bebas, narkoba dan seks bebas. Oleh karenanya kegiatan semacam ini diharapkan menjadi penyejuk dan pencerah bagi mereka yang sedang mencari jati diri,” katanya.

Guyon™


KISAH NYATA..!!!


KISAH NYATA!!
Semoga setelah mendengar cerita ini kita semua tertegur hatinya, disertai dengan memperbaiki akhlak,Amin..

Di Ternate ada seorang pemuda yang meninggal dunia,Dipandangan masyarakat pemuda ini semasa hidupnya adalah seorang yang nakal dan sering berbuat maksiat. Tapi masyarakt terkejut, karena terdengar lantunan ayat-ayat Suci Al-Qur'an dari dalam kubur, seakan tidak percaya dengan keanehan ini..
Karena suara itu selalu terdengar dari dalam kubur apabila hampir magrib & subuh..
Atas kesepakatan masyarakat,dibongkarlah kuburan sipemuda itu,setelah dbongkar..


TERNYATA..???!




HP ESIA HIDAYAH tukang gali kubur tertinggal didalamnya..
Wkwkwk.. :-D
Serius amat bacanya..

Andakah Mantan Kyai (Preman, Donk !!!) NU, Itu ??


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sholawat serta salam senantiasa kita haturkan atas Rasulullah Muhammad SAW.
Andakah
Mantan Kyai (Preman Donk !) NU Itu ???
Ada keengganan tersendiri dalam membuat postingan ini karena, hal ini sangat sangat berpotensi pada perpecahan (bukan lagi perbedaan). Apalagi bagi kami para generasi naruto yang sedang tertatih tatih mencari apa itu islam di belantara virtual, adalah ketololan dan kecerobohan ketika kita mencukupkan diri mencari Islam dari dunia (instan) internet saja, tanpa usaha untuk mengaji pada seorang 'Ulama di dunia nyata untuk mengajarkan kita ilmu yang nafi' fiddin waddunya wal akhiroh, yang mengajarkan kita dari alif-ba-ta hingga 'ulumul qur'an; dari masalah thoharoh hingga arkanu-sholah, shoum romadhon, zakat, hajji; dari ilmu hisab yang sekedar wa(+) illa(-) fii(x) min(:) yusawi(=) sampai ilmu hisab yang menyentuh faro'id dan falakkiyah. Di dunia nyata aja banyak koq kafirun manafiqun yang menyusup, apalagi di dunia maya.

Berawal dari ingatan saya pada kata-kata seseorang yang sudah saya anggap guru, ayah, kakak, dan sahabat dimana beliau pernah menulis gini :
====================================================================
Rekan-rekan muslimin wal muslimat,… kita semua tahu bahwa kaum munafikun bagaikan srigala berbulu domba mereka menyusup dalam segala sendi kehidupan yang bernuansa Islam. Secara garis besar penyusupan itu dibagi dalam 2 bagian yaitu penyusupan lewat syariah dan melalui aqidah sedangkan jalan yang ditempuhnya biasanya melalui celah sempit friksi antar golongan (baca: wadah /kelompok,) ada yang pura-pura jadi Islam Suni, Salafus Saleh, Syi’ah, Wahabi, NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Persis, Tasawuf, Sufistik… dll.
=============================================================
Subhanallah,,, Alhamdulillah,,, dari sini saya semakin mantab bahwa Islamis Islam, tak ada Islam Sunni, tak ada Islam Syi'ah, tak ada Islam Wahhaby tak ada Islam Sufy, Tak ada Islam Salafy, yang ada hanya Islam.
Melalui postingan ini saya hanya ingin konfirmasi dari beberapa pihak yang terkait, sebenarnya ini berita basi (karena sifatnya berita, tentu saja waktu itu saya ga mau percaya gitu aja dunk). Dari Kang Org Awam malah saya dapatkan profilnya seperti ini,  
Koq disembah ?
Mana Imamnya ?

Ketika berkunjung ke Ustadz PA (salut kepada beliau yang tak lelah mengingatkan para praktisi metafisik yang menjurus perbuatan syirik), yang salah satu postingan membahas tentang beliau Ustadz Mahrus Ali yang "katanya" mantan kyai (baca : preman) NU. Loh koq preman ??? kan katanya mantan kyai, kalo mantan preman kan biasanya jadi kiai, truss kalo mantan kiai jadinya preman atau dukun dunk.

Berita2 seputar Ustadz Mahrus Ali membuat saya ingin mengkonfirmasi langsung kepada beliaunya, apakah benar beliau pemilik blog  .:: Mantan Kyai NU ::. adalah sebagaimana poto di atas ? dan lewat postingan ini saya hanya ingin tabayyun untuk menghindari fitnah aja.

Sekedar catatan, setahu saya tak ada seorang Kyai yang mengklaim dirinya sendiri sebagai Kyai. Biasanya panggilan tersebut berasal dari masyarakat. Jikapun anda merasa pernah menjadi Kyai NU tentu anda dapat menjawab pertanyaan2 yang biasa diterima oleh santri NU sebagai berikut : 


Pertama

Silahkan klik untuk memperbesar



Dalam Kitab Aqidatul Awwam kita bisa mengetahui tentang 20 sifat wajib dan sifat muhal bagi Allah Ta'ala, sifat wajib bagi Nabi dan Rasulullah, nama 10 Malaikat, nama 25 Nabi yang wajib diketahui, hingga nama2 Istri dan putra-putri Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kitab ini disusun dalam bentuk nadhoman. Berikut saya kutip 4 nadhom pertama sebagai muqoddimah, dan mohon dilanjutkan nadhoman selanjutnya....

1. Abda-u bismillahi warrohmaani   ::&::  Wabirrohiimi Da-imil ihsaani
2. Falhamdulillahi qodiimil awwali  ::&::  Al Akhiril baqii bilaa tahawwuli
3. Tsummash sholatu wassalamu sarmada  ::&::  'Alan nabiyyil khoiri man qod wahhada
4. Wa alihii wa sohbihi wa man tabi'  ::&::  sabiila diinil haqqi ghoiro mubtadi'
5. ................... ?
6. ................... ?




Kedua


Silahkan klik untuk memperbesar
Dalam Kitab Alala, kita dapat mempelajari adab seorang santri/tholab/ pencari 'ilmu. Sebagai mantan kyai NU anda musti hafal dunk ketika dwulu pernah ngajari santrinya. Mohon beritahu kami 6 syarat bagi pencari 'ilmu sesuai "term" dalam kitab ini. berikut saya scan  nadhomannya yang menerangkan hal tersebut.



Ketiga
Jika anda mantan kyai NU, tentu udah gledhekan (mahir) nahwu shorof sebagai penunjang untuk mempelajari tafsir Al Qur'an. Tentu juga mengenal kitab Amtsilatu Tashrif, kan ?. Selanjutnya, bisa nggak sih anda men-tashrif kalimah "salima". Baik secara tashrif istilahiy maupun secara tashrif lughowi. Kalo pada kalimah "salima" dirasa terlalu sulit tashrif-kan aja kalimah "dhoroba". Okey ?






Keempat
Silahkan klik untuk memperbesar
Pada kitab Hidayatul Mustafid (Kitab tentang  tajwid dengan metode tanya jawab), ada sebuah fasal yang menerangkan hukum dalam membaca isti'adzah (ta'awudz) dan basmalah (bismillah). Berikut saya scan halaman pada fasal tersebut. Mohon terangkan pada saya khususnya maksud dari soal dan jawab tersebut....

 





 Kelima

Silahkan klik untuk memperbesar
Pada kitab Syifa-ul Jinan (Kitab tentang tajwid dengan metode nadhoman), ada bab yang menerangkan mengenai hukum lam ta'rif dan lam fi'il, mohon penjelasannya. Berikut saya scan  halaman yang menerangkan bab tersebut untuk mempermudah penjelasan...



 





Keenam
Sebagai orang yang merasa pernah jadi mantan kyai NU tentu ketika sholat shubuh anda terbiasa dengan do'a qunut. Dalam kitab fathul mu'in, posisi tangan & telapak tangan yang benar ketika melakukan do'a qunut dikenal dengan istilah "mankibaih" (posisi tangan dalam berdo'a inilah yang membedakan kita ummat Islam dengan umat lainnya, jika ummat kristen-katholik menganyam jari2 tangan didepan hidung, ummat hindu-budha menyatukan kedua telapak tangan di depan hidung). Mohon dijelaskan apa yang dimaksud "mankibaih" tersebut ?

Ketujuh
Sebagai seorang muslimin Indonesia, harusnya anda bisa membedakan antara hisab (menghitung) dengan hisap (menyedot). Mengapa dalam postingan anda, anda menulis "hisap" sementara artikel yang anda copas jelas2 menuliskan dengan "hisab"







Jawaban anda sangat2 menjadi pertimbangan saya apakah anda benar2 pernah menjadi kyai NU ; pernah jadi santri NU ; atau hanya terkena penyakit asma (asal mangap) doank.

Terlepas dari itu, sangat saya hargai usaha anda untuk mengkritisi dalam segala hal. Namun perlu anda sadari bahwa kebohongan adalah awal kemunafiqkan, kesombongan awal dari kemusyrikkan. Jadi mohon jangan berbohong dalam menda'wahkan Islam, dan jangan sombong untuk mengakui sebuah kesalahan.


▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Sangat disayangkan, jika beliau Kyai Mahrus Ali (eh udah mantan ding...)
tidak merespon maupun mengklarifikasi setelah saya "mengetuk pintu" blognya.
Maka dengan ini saya berani menyatakan bahwa pemilik blog "Mantan Kyai NU"
hanyalah salah satu domba berbaju serigala (sok ngeluarin taring tapi melempem)
kafirun munafiqkun yang mencoba menipu ummat Islam yang masih dalam pencarian.
Kurang lebihnya mohon maaf. 
Semoga kita senantiasa mendapat taufiq dan hidayah Allah Ta'ala.

Mantan Kyai NU Ternyata Bukan Kyai NU

Mahrus Ali "Mantan Kyai NU" menggugat Sholawat dan dzikir musyrik.
 Di berbagai tempat di wilayah Indonesia beredar buku karangan seseorang yang mengatas namakan “Mantan Kyai NU” , kami  generasi muda NU sempat bertanya-tanya siapakah gerangan sang mantan Kyai itu,dari namanya kami sepertinya tidak asing lagi sampai ada yang menganggap apakah beliau KH.Mahrus Ali Lirboyo Kediri tapi bukankah beliau sudah wafat? siapakah "Mantan Kyai NU" itu?
  • Ternyata Pengarang buku ini sebenarnya bukan mantan kiai NU, apalagi pernah menjadi anggota atau menjabat di NU. Dia adalah Mahrus Ali seorang warga Tambak Waru Sidoarjo Surabaya Jawa Timur, Entah motivasi apa sehingga mereka selalu berbohong sebagai "Mantan Kyai NU" dalam setiap karangan bukunya,bukankah berbohong adalah suatu dosa? ataukah mungkin sudah kebiasaan mereka dalam da'wahnya selalu menghalalkan segala cara salah satunya dengan berbohong.
  • Kebenaran apa yang dapat kita peroleh dari buku karangan seorang pembohong,Apapun alasannya kebohongan adalah suatu keburukan sikap yang sangat di larang oleh Agama Islam, selayaknyalah kita menghindarkan diri dari perbuatan munafik dan bohong dalam tujuan apapun apalagi da'wah,sesungguhnya setan ada di balik niat jahat melalui tipu muslihatnya.
  • Kadang kala seseorang kalau sudah tidak suka pada sesuatu pasti akan selalu mencari kejelekannya terus menerus,ibarat benci pada seseorang,orang itu sedang ngaji atau berbuat baik yang lainnya juga tetap jelek bahkan ayam dia masuk kerumah kitapun di sambit,Apakah kita sudah mewarisi sikap setan yang merasa lebih baik dari adam atau Mungkin kita terlalu menggap diri kita paling benar? hingga untuk itu kebohonganpun dilakukan.
  • Marilah sampaikan Da,wah dengan kejujuran dan keikhlasan agar kita bisa belajar dari buku-buku islam dengan baik,jangan ajari kita berbohong atau menghalalkan cara dalam berdakwah,jujur bohongnya seseorang sangat mempengaruhi pandangan kita pada setiap tindakannya atau buah pikirannya juga karangannya.
Allah berfirman:

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al-An’aam: 144)

Rasulalloh salallahuhu alaihi wasalam bersabda:
Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.” (HR. Bukhari no. 6094, Muslim no. 2607)

Inilah foto-foto Kegiatan Mahrus Ali 'Mantan Kyai NU" dengan Jama'ahnya :
















Mahrus Ali sedang khotbah jum'at di rumahnya









Sholat sandal tetap di pakai dan sujud tanpa alas sajadah

Mahrus Ali dengan Jama'ahnya







Selasa, 03 Januari 2012

PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI DAN AHMAD DAHLAN


A. Biografi K. H. Hasyim Asy’ari.
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII). Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri. Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak- kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut. Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim. Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu. K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf,
Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa. Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI. Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura. K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.

B. Pemkiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan.
Pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal. Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior. Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah. Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai- nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat. Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim. Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”. Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam. Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau. Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis. Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al- Tujjar.
Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.
a. selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
b. mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
c. mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
d. berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.
e. tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.
f. khusyu dalam segala ibadahnya.
g. selalu berpedoman kepada hukum Allah dalam segala hal.
h. tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.
i. tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
j. zuhud, dalam segala hal.
k. menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya
l. menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
m. selalu menghidupkan syiar Islam.
n. menegakkan sunnah Rasul.
o. menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
p. bergaul dengan sesame manusia secara ramah,
q. menyucikan jiwa.
r. selalu berusaha mempertajam ilmunya.
s. terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.
t. selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
u. meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.
Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak. Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telah menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.
C. Biografi Ahmad Dahlan.
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir. Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu. Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual. Tidak berapa lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya sampai akhir hayat.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu ajengan penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam Yogya.
Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang (Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam usia 55 tahun.

D. Pemikiran Ahmad Dahlan tentang Pendidikan.
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun ¬tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat ¬laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, xang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat te¬robosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per¬kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggo¬ta-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor¬-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berha¬rap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pe¬lajaran dan cara mengajar agama yang di¬berikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ah¬mad Dahlan membuka sendiri sekolah se¬cara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersi¬fat permanen.
Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunyai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis. Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercayaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.
Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.
Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dengan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah. Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani. Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut: Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah. Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

Senin, 02 Januari 2012

Perdjoeangan 'Laskar Hizbulloh' oleh para Oelama' Nahdliyyin

KH. Zainul Arifin; Panglima Hizbullah yang Menjadi Negarawan

Barus adalah sebuah kota kecil di pantai barat Sumatera, saat ini masuk wilayah Sumatera Utara. Kota kecil ini terkenal ke seluruh dunia sejak tahun 160 Masehi melalui tulisan Ptolemaus karena produk kapur barusnya yang terkenal itu. Bahkan Islam telah masuk wilayah ini sejak tahun 48 Hijriyah, seperti tertulis dalam makam Syekh Arkanuddin yang berada di tanah harum ini.
Temuan sejarah para ulama NU yang bertugas merawat makam tua itu sempat menggoncangkan teori sejarah masuknya Islam di Indonesia dalam seminar masuknya Islam pada tahun 1963. Banyak ulama besar berasal dari tempat ini, di antaranya yang paling menonjol adalah Hamzah Fansuri, yang terkenal dengan kitab tasawufnya. Di tanah Barus yang terkenal keharuman kapurnya serta keharuman para ulamanya itulah pada tahun 1909 KH Zainul Arifin dilahirkan.
Sebagai pemuda yang lahir di lingkungan yang sangat religius, maka ia menempuh pendidikan di pesantren Purbabaru Sumatera Utara, kini pesantren Musthofawiyah. Dari pesantren ini lahir beberapa tokoh nasional, termasuk dirinya. Walaupun berasal dari pesantren, ia cukup piawai berbahasa Belanda dan Jepang. Pendidikan formal yang dilalui adalah HIS.
Postur tubuhnya sedang-sedang saja, tapi berisi. Hidungnya mancung, kulitnya relatif putih. Suaranya barithon, sorot matanya tajam. Itulah sosok KH Zainul Arifin, Panglima Lasykar Hizbullah, suatu wadah Perjuangan pemuda Islam 1942-1945. Namaya disegani baik oleh tentara Belanda maupun Jepang, apalagi memiliki pasukan yang sangat terlatih dan militan.
Untuk memperluas pengetahuan dan pengalamannya Sejak muda Zainul merantau ke Jawa dan menetap di Jakarta. Ia sempat 15 tahun bekerja di bagian pengairan pada pemerintah Kota Praja Jakarta Raya, dengan setatus sebagai pegawai negeri sipil. Dia pekerja yang tekun, ulet, dan bertanggung jawab kepada atasannya. Namun karirnya sebagai PNS itu ditinggalkan sejalan dengan perkembangan situasi yang ada, yang mengharuskan dia memilih berjuang di jalur politik.
Sebagai seorang santri pesantren maka dengan sendirinya memilih bergabung dalam organisiasi Nahdhatul Ulama (NU) yang sejalan dengan cara berfikir dan berperilaku para santri. Ketika NU menjadi gerakan politik bergabung dalam Masyumi, Zainul muda ikut serta masuk ke dalamnya. Jabatan Kepala Bagian Umum Masyumi dipercayakan kepadanya mengingat kemampuan dan kecekayannya dalam bekerja. Demikian juga ketika tahun 1952 NU keluar dari Masyumi, Zainul pun setia pada keputusan organisiasi, ikut keluar dari Masjumi kemudian aktif di Partai Nahdlatul Ulama.
Panglima Hizbullah
Ketika barisan Hizbullah, wadah perjuangan fisik para pemuda Islam terbentuk(1942), Zainul turut masuk ke dalamnya. Bahkan dia mendapat pelatihan militer pertama oleh tentara Jepang. Kemenonjolan dan ketangkasannya membuat dia diangkat sebagai Komandan Batalion dan kemudian menjadi Panglima Hizbullah.
Anggotanya yang ribuan orang, terutama di Jawa dan Sumatera sebagian besar mangikuti pendidikan militer gaya Jepang di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Para pemuda santri, tanpa gamang, mengingat ini panggilan jihad membela negara bangsa, antre mendaftarkan diri masuk Hizbullah. Sedangkan para kiai, ulama dan mereka yang sudah dewasa masuk dalam barisan Sabilillah, dengan panglimanya KH Masykur juga dari NU.
Dalam kapasitas sebagai panglima Hizbullah itu, Zainul Arifin kerap melakukan inspeksi pasukan, terutama di basis-basis pejuangan umat Islam yaitu pondok-pondok pesantren. Konsolidasi yang terus-menerus dengan peningkatan keterampilan bertempur, membuat Hizbullah wadah lasykar rakyat yang disegani dan berwibawa.
Kedudukan Zainul di partai Masyumi adalah Kepala Bagian Umum yang berada di bawah Sekretaris Jenderal. Ketika pada akhirnya Hizbullah dilebur ke dalam TNI (1945). Dalam proses penggabungan itu Zainul Arifin memainkan peran yang besar. Atas pertan besarnya itu ia diangkat sebagai Sekretaris pada Pucuk Pimpinan TNI atau semacam Sekretaris Jenderal Deparetemen Pertahanan Keamanan sekarang.
Ketika terjadi penggabungan yang disertai program rekonstruksi dan rasionalisasi dalam tubuh kelasykaran itu. Zainul sangat kecewa dan prihatin ketika banyak kiai anggota Sabilillah dan Hizbullah yang tidak lulus untuk masuk TNI padahal mereka itu yang paling gigih dalam perjuangan kemerdekaan. Kebijakan itu diangggapnya sebagai upaya sistematis para bekas perwira KNIL yang berkuasa dalam TNI untuk menyingkarkan para Lasykar rakyat pejuang yang nasionalis.
Namun para kiai dan santri itu sendiri meminta agar Zainul tidak memperpanjang masalah itu. Bagi kiai dan santri berjuang semata-mata lillahi ta’ala untuk memerdekakan bangsa ini, bukan untuk mengejar pangkat dan jabatan. Hanaya beberapa Lasykar Hisbullah yang duterima di TNI, bagi mereka yang tidak lolos masuk TNI mereka menerima dengan ikhlas dan kembali ke pondok pesantren untuk mendidik generasi muda.
Bergerilya
Pada tahun 1947, Zainul Arifin diangkat sebagai anggota KNIP berkedudukan di Yogyakarta. Ketika Belanda melancarkan agresi untuk mencengkeramkan kukunya kembali, Zainul ikut bergerilya dan menjabat sebagai staf Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa. Salah satu tugasnya adalah mengonsolidasikan wadah-wadah perjuangan yang tersebar dimana-mana, termasuk dengan kelompok gerilya Jenderal Besar Sudirman.
Setelah lahirnya Negara Republik Indonesia, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (RIS). Dan ketika Indonesia lebih menjadi negara kesatuan, ia diangkat menjadi anggota DPR Sementara. Ketika Bung Karno membentuk DPR-GR pasca dibubarkannya Masyumi dan PSI, Zainul Arifin diangkat sebagai anggota dan kemudian duduk menjadi wakil ketua.
Sebelum itu, sebagai hasil Pemilu 1955 setelah NU keluar dari Masyumi, Zainul Arifin terpilih sebagai Wakil Ketua DPR, dengan ketuanya Mr Sartono (PNI). Setelah itu karirnya terus meningkat dengan diangkat Sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet Ali II, posisinya digantikan oleh KH DR Idham Chalid, yang ketika itu sudah menjadi Ketua Umum PBNU. Kabinet ini dikenal dengan sebutan Kabinet Ali-Roem-Idham.
Sebagai putera Batak ia memiliki kepribadian yang tegas, tetapi sekaligus luwes dan supel dalam bergaul. Hal itu membuat Zainul Arifin disukai oleh teman dan lawan politiknya, termasuk oleh Bung Karno. Pada periode itu berbagai kepercayaan diamanatkan kepada tokoh ini. Semua tugas yang dibebankan dijalankan dengan baik, mengingat semuanya itu bagian dari perjuanagan mengisi kemrdekaan, karena itu daia sangat tegas menghadapi kelompok yang mengancam keutuhan nasional.
Berjuangan Hingga Titik Akhir
Sebagai bekas pejuang kemerdekaan Zainul adalah seorang Nasionalis yang tulen, karena itu dalam keadaan apapun tidak akan bergeser dari komitmennya itu. Dan Bung Karno adalkah orang yang memiliki komitmen serupa, karena itu maklum kalau keduanya selalu klop dalam menyikapi politik nasional. Karena itu pula keduanya sangat akap berhubungan, karena itu pula musuh Bung Karno juga memusuhi tokoh ini.
Walaupun DI TII dan PRRI Permesta telah dilumpuhkan, tetapi tentara mereka bergerilya ke mana-mana. Sarannya adalah Soekarno dan pendukungnya, karena itu pada suatu ketika pada tahun 1962, ketika sedang dilakukan dilaksanakan Sembahyang Idul Adha di Masjid Baiturrahim di halaman Istana Merdeka dengan Imam KH Zainul Arifin, Bung Karno sebagai makmum. Saat melaksanakan sembahyang itu tiba-tiba mendapat serangan udara secara mendadak. Serangan itu dilakukan oleh sisa gerombolan pemberontak PRRI Permesta yang mau menghancurkan Indonesia untuk kepentingan penjajah. Bung Karno selamat dalam insiden yang amoral itu, tetapi KH Zainul Arifin bekas Komandan Hizbullah itu mengalami-luka-luka.
Walaupun KH Zainul Arifin selamat dari serangan para pemberontak, tetapi setelah itu kesehatannya mulai menurun. Apalagi situasi politik nasional juga semakin kacau, ketika banyak sabotase politik dan ekonomi dilakukan oleh para agen imperialis terhadap pemerintahan Soekarno. Keadaan itu membuat KH Zainul Arifin sangat prihatin, yang mempengaruhi kesehatan fisik dan psikisnya. Kemudian pejuang ini wafat bulan Maret 1963 di Jakarta pada usia 54 tahun. Sebagai pejuang maka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ketika itu ia menduduki jabatan sebagai wakil ketua DPR-GR.
Walaupun karir politiknya terhenti sampai di sini, namun kenangan atas jejak langkah perjuangannya terus dirasakan hingga saat ini. Perjuangan itu patut diteladani generasi muda, khususnya di kalangan Nahdhatul Ulama. Banyak pihak merasa kehilangan dengan wafatnya Zainul Arifin, tokoh NU yang sangat menonjol ketika itu. Setumpuk surat kawat dan telegram duka cita diirimkan oleh berbagai lapisan organisasi ke Sekjen PBNU.
KH Zainul Arifin meninggalkan seorang istri dengan sejumlah putera-puteri sebagai pewaris perjuangannya, di berbagai bidang kegiatan. Salah seorang puteranya H.B. Syihabuddin Arifin, berkarir di Deplu, pernah menduduki jabatan Dubes di Inggris dan Sekjen Deplu.
Puteranya yang lain Cecep Komaruddin Arifin aktif di GP Anshor dan Nahdlatul Ulama Jawa Barat. Salah seorang puterinya Aisyah Arifin diperistri oleh Letkol Soleh Sediana Bupati Majalengka pada tahun 1970. Ibu Zainul Arifin sendiri aktif di Muslimat NU. Cucu-cucu dan cicitnya juga banyak berkiprah di bidang sosial dan kemasyarakatan.
Atas berbagai jasanya dalam mendirikan Republik ini, KH Zainul Arifin dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang namanya kemudian juga diabadikan menjadi nama sebuah jalan raya yang ada di Jakarta Pusat, berdekatan dengan jalan KH Hasyim Asy’ari.
Hadirnya tokoh besar dari berbagai daearah, seperti Nuddin Lubis dari Sumatera Utara, KH Zein Syukri (Sumatera Selatan) Tengku Abdul Ghani dari Sumatera Barat dan Zainul Arifin dari Sumatera Utara serta KH Idham Cholid dari Kalimantan Selatan, menunjukkan luasnya wilayah sebaran NU di bumi Nusantara ini.

Sejarah Berdirinya Nahdlatoel Oelama'

SEJARAH NU Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.

Keresahan Kiai Hasyim

Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.

Tongkat “Musa”

“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.

Bapak Spiritual

Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”
Lebih tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”
Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Wallahu a’lam.
SUMBER
http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/kilas_sejarah_pendirian_nu.single

DOWNLOAD E-BOOK DALIL AMALAN WARGA NU
ATAU