A. Biografi K. H. Hasyim Asy’ari.
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari
adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang,
sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24
Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari
riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah
keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah
menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua
iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah
Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa
lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII). Menurut penuturan ibunya, tanda
kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih
berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari
umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari
langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan
jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah,
bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari
sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar
santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri. Bakat
kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak- kanak. Ketika
bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi
penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan
menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang
suka menolong dan melindungi sesama.
Semasa hidupnya, ia mendapatkan
pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang
ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia
menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa,
yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan
Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan
untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang
merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan
kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya,
sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat
pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan
dengan putri K. H. Ya’kub tersebut. Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari
bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah
suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di
Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa
seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di
Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari
mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh
Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan
Muslim. Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika
telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu
melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak
terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat
belajarnya untuk menuntut ilmu. K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di
Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn
Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid
Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf,
Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah
Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia
tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K.
H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia
membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat
menjadi terkenal di wilayah Jawa. Tanggal 31 Januari 1926, bersama
dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan
Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun
semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya.
Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul
Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan
selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di
Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari
tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan
Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional
oleh Presiden RI. Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai
Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua
umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai
kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah
Jawa dan Madura. K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di
Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk
kepentingan agama dan pendidikan.
B. Pemkiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan.
Pada
tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim
Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya
dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa
tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal. Menurut Abu Bakar
Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153
bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren
diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis
dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri.
Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan
menimbulkan konflik di kalangan kiai senior. Pada tahun 1916 – 1934
Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang
kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua
dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk
memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir
tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah
khazanah ilmu pengetahuan Islam. Kurikulum madrasah mulai ditambah
dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan
ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa
Belanda dan sejarah. Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu
melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi
keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia
sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau
Jawa, yang nilai- nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran
Islam.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran
mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek
tarikat. Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam
tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian
terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan
pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan
pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang
berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai
hasil didikan kiai Hasyim. Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu
pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang
dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat
kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu,
yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu,
jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan
melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan
ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan
materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas,
dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu
salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut
beliau adalah “niat yang baik dan lurus”. Salah satu karya monumental
K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab
Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat
Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana
umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih
ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan
beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut
pula mewarnai isi kitab tersebut.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari
merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia
untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus
diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan
hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu
menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia
dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta
melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi
penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau
dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai
dan norma-norma Islam. Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam
membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari
adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri
menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali
dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil
karangan atau tulisan beliau. Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari
dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun
sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh
pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang
mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam
khususnya agar membiasakan diri untuk menulis. Selain mumpuni dalam
bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren,
mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual
kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat
sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama
ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta
mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan
berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan
semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-
Tujjar.
Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki
oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau
etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua
puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.
a. selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
b.
mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan
apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
c. mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
d. berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.
e. tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.
f. khusyu dalam segala ibadahnya.
g. selalu berpedoman kepada hukum Allah dalam segala hal.
h. tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.
i. tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
j. zuhud, dalam segala hal.
k. menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya
l. menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
m. selalu menghidupkan syiar Islam.
n. menegakkan sunnah Rasul.
o. menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
p. bergaul dengan sesame manusia secara ramah,
q. menyucikan jiwa.
r. selalu berusaha mempertajam ilmunya.
s. terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.
t. selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
u. meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.
Dengan
memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi
pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di
sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan
menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai
peran penting dalam mendidik akhlak anak. Untuk itu perlu kiranya para
calon pendidik maupun yang telah menjadi pendidik untuk memiliki etika
tersebut.
C. Biografi Ahmad Dahlan.
Ahmad Dahlan lahir di Kauman
(Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari
1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam
ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib
masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah,
putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton
Yogyakarta.
Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu
Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim,
Muhammad Pakin dan Basir. Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik
sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar
membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan
ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari
dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu.
Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu
nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat
Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an),
serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia
relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman.
Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa
tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk
lebih mendalaminya.
Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah
guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan
studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan
hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat
lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua
kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah
ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut
adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni,
Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan
mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui
penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn
Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab,
Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain
sebagainya. Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah
membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang
reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah
mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu. Sekembalinya dari Mekkah, ia
mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama
seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad
b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak.
Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di
masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia
dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual. Tidak berapa
lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan
Walidah. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan)
yang mendampinginya sampai akhir hayat.
Dari perkawinannya dengan
Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu,
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti
Zaharah. Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan pernah
kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah
kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu
ajengan penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai
Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam
Yogya.
Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai
pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena
dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti
dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman
seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin
(khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga
berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang
(Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu
dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat
yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada
tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam
usia 55 tahun.
D. Pemikiran Ahmad Dahlan tentang Pendidikan.
Ide
pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat
khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi
lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara.
Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat
seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2
derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai
Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar
sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai
Penghulu turun ¬tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H.
Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut
sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya
menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan
jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa
yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi
cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh
K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
Memang
tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide
pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena
masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari
tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk
menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat,
tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang
diyakini.
Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan
Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk
mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji
yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia
pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara
menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan.
Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid
di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat ¬laut.
Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi,
menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, xang pada mulanya
ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
Terobosan
dan Strategi Ahmad Dahlan Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad
Dahlan telah membuat te¬robosan dan strategi dakwah: ia memasuki
perkumpulan Budi Utomo. Melalui per¬kumpulan ini, Dahlan berharap dapat
memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu,
karena anggo¬ta-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di
sekolah-sekolah dan kantor¬-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berha¬rap
dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah.
Rupanya, pe¬lajaran dan cara mengajar agama yang di¬berikan. Ahmad
Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti,
mereka menyarankan agar Ah¬mad Dahlan membuka sendiri sekolah se¬cara
terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang
bersi¬fat permanen.
Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan Gerakan pembaruan
K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunyai
landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna
meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber
aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat.
Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M.
penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak
menyalurkan ide-idenya secara tertulis. Kemudian dia mengeliminasi
upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga
pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang
yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan).
Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara
mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercayaan pada jimat yang
sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang
menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.
Mendirikan Perserikatan
Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad
Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah
(organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam.
Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di
Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta
dan OSVIA di Magelang.
Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia
memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada
kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah
mencoba mendirikan sebuah madrasah dengan pengantar bahasa Arab di
lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember
1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan
Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh
beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah
ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi
persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah. Sumbangan terbesarnya
K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan
organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji
Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji
Abdul Gani. Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di
kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota
inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan
lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan
masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta
menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai
jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon
tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan
model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini
mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang
terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama.
Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan
yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama
mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20
Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta.
Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan
organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan,
Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang
Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam
di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama
Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh
Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan
Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat
bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin,
Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama,
Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri,
Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul
Mubtadi.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak
pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial
umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial
keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut: Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam. Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan
keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut
Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki
hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual. Muhammadiyah sebagai
gerakan dakwah. Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah
yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah
dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.